Cuplikan Kisah Berhikmah Dari Rumah

Cuplikan Kisah Berhikmah Dari Rumah

Episode 1

Sebut saja nama saya Melati, saya seorang ibu dari dua anak. Semakin hari saya semakin merasa bingung dalam mendidik anak sulung saya. Saya tidak mengerti bagaimana membuat anak sulung saya bisa menjadi anak yang tangguh. Bagi saya ia sering sekali berlebihan dalam merespon masalah. Lebay, lemah, sensitif dan mudah sekali murung bahkan menangis. Kalau sudah sedih ia tak bicara terus terang apa maunya, tetapi kalo sudah meledak ia bisa menangis meraung-raung. Kalo dulu ia masih kecil saya lebih bersabar, tapi sekarang ia sudah SD, saya menjadi tidak sabar menghadapinya. Cara ia meminta perhatian kadang membuat saya kesal. Hal sepele harus menjadi besar. Saya kira semakin ia beranjak dewasa ia akan lebih mengerti bahwa perhatian saya tak selalu harus membuat saya berada di sampingnya. Tapi ternyata tidak. Ia sering sekali meminta perhatian agar saya menemani kegiatannya. Tetapi ia seperti sangat kecewa kalau saya mengatakan bahwa saya sedang sibuk mengerjakan pekerjaan saya. Mengapa ia tidak mengerti padahal ia sudah semakin besar? Saya khawatir ia tumbuh menjadi wanita yang lemah.

Saya akui saat saya kecil fasilitas membuat saya juga manja, tetapi saat saya menjalani hidup berumah tangga saya merasa saya masih tegar walau kadang saya merindukan masa-masa istirahat dari segala kepenatan dan kesibukan saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Saya khawatir anak sulung saya yang sangat sensitif ini tidak siap mengarungi masa depannya. Saya merasa ia jauh lebih manja dari saya. Namun semakin saya mendorong dia bersikap kuat dan tangguh, semakin pecah tangisnya, semakin lebay dan semakin terkesan lemah dalam pandangan saya. Dan disaat itu pula saya semakin emosi pada anak saya. Dan disaat itu pula ia semakin sulit untuk melaksanakan apa yang saya minta. Bisakah membantu saya memberikan jalan untuk memperbaiki mental anak sulung saya agar semakin tangguh? Dan bagaimana caranya agar saya bisa memiliki hubungan yang baik dengannya?

Bismillahirrahmanirrahim

Dear ibu Melati yang dirahmati Allah.

Saya sangat memahami perasaan ibu. Seringkali emosi kita sebagai orang tua bergejolak saat melihat anak-anak bersikap yang tidak sesuai dengan harapan kita. Semakin jauh harapan kita dengan kenyataan, semakin kecewa kita, semakin bergejolaklah perasaan kita. Masalahnya semakin kita tidak mengenal siapa anak kita yang sesungguhnya serta tahapan perkembangannya, semakin besar kemungkinan kita salah dalam menaruh harapan pada mereka. Seringkali kita sangat berharap anak-anak dapat seperti kita atau lebih baik dari kita. Namun kita sering lupa bahwa dirinya berbeda dan tidak dapat bersikap sama dengan kita. Tidak merespon dunia dengan cara yang sama dengan kita. Bahkan tidak beramal sholeh dengan cara yang sama dengan kita. Jika kita memiliki harapan kepada anak, maka sesungguhnya mereka pun memiliki harapan kepada kita. Semakin tebal benteng pertahanan mereka, semakin sulit kita mengetahui apa sebenarnya harapan mereka terhadap kita.

Ibu Melati yang dirahmati Allah….

Dari hasil test personal genetic ibu dan ananda saya bisa sedikit memahami situasi yang terjadi dalam rumah ibu. Ibu adalah seorang yang memiliki personal genetic thinking ekstrovert sementara ananda adalah seorang feeling introvert. Ibu yang memiliki kecerdasan logika (logical quotient) akan selalu melihat ananda tidak logis, emosional, lebay, dan subjektif. Sesuatu yang tidak masuk dalam pola pikir ibu justru dilakukan ananda. Membuat ibu merasa semakin tidak setuju dengan perilakunya yang tak sesuai dengan standar ibu. Padahal ananda sebagai seorang feeling introvert sangat bermain hati dan dominan menggunakan hati dalam merespon lingkungannya.

Anak-anak terkadang sangat membutuhkan persetujuan kita, terutama seorang anak dengan mesin kecerdasan feeling. Persetujuan adalah jembatan komunikasi kita dengan mereka. Mereka akan sangat terluka bila langsung ditolak. Maka wajar bila setelah penolakan itu mereka tidak mau mendengar inti komunikasi kita yang selanjutnya. Tarik ulurlah sa

Dhewsi STIFIn, [14.02.18 17:26]
at berbicara dengan mereka. Katakan saja dulu persetujuan kita “boleh…” Lalu kemudian ajak mereka berdiskusi untuk mempertimbangkan pemikiran kita. Setelah itu sampaikan perasaan kita bila apa yang tidak kita setujui itu ia lakukan. Kedepankan perasaan kita, bukan akibat logisnya. Mereka akan lebih bisa mendengar pesan kita ketika kita berbicara tentang hati kepada hati.

Ibu Melati yang dirahmati Allah….

Saya sangat memahami ibu. Sebagai seorang Thinking ektrovert, ibu sangat menghargai tugas dan proses. Kelebihan ibu dalam menegerial membuat ibu menjadi seorang komandan rumah tangga yang sangat disiplin, sistematis, terorganisir dan sangat ingin mencapai hasil yang paling efektif. Sering kali tanpa sadar kelebihan ini membuat diri kita menjadi kurang sensitif, kurang perhatian, mengabaikan perasaan, bahkan (maaf) keras kepala. Bagi orang thinking ektrovert hidup ini selalu memuat konsekuensi logis. Terkadang kita pun tanpa sadar mengabaikan perasaan kita sendiri, karena logisnya akal menyuruh kita berbuat sesuatu. Tapi mohon, demi masa depan ananda dan keberkahan rumah tangga, kita perlu belajar untuk berempati dan mau mendengar perasaannya.

Anak feeling introvert sangat berharap usaha dan konstribusinya diakui, dihargai. Meski kadang tak sesuai dengan standar seorang thinking ekstrovert. Mereka sangat ingin kita peduli terhadap keadaan mereka. Maka tunjukkanlah kepedulian kita. Tentang masalahnya, tentang kesulitannya, tentang rasa sakitnya, tentang rasa lelahnya. Tersenyumlah dan tunjukkan keramahan, meski senyum sulit tersimpul saat kita mengingat target-target pekerjaan kita. Perhatian kita, kepedulian kita, kelemah lembutan kita, ekspresi cinta kita pada seorang feeling introvert akan menjadi bagian dari masa depan mereka. Sehingga ia akan tumbuh menjadi anak yang memiliki kecerdasan emosi. Sesuai kecerdasan feeling introvert yaitu emotional quotient.

Kesabaran dan kelemahlembutan kita pada mereka akan mengasah sensitifitasnya pada masalah sosial. Insya Allah mereka akan tumbuh menjadi manusia yang berempati dan memiliki kepedulian sosial. Kesabaran ibu untuk mendengar perasaannya insya Allah akan mengasah kemampuan dirinya untuk mendengar dan mengatasi masalah ummat. Percayalah mereka terlahir ke muka bumi untuk menjadi pemimpin yang akan menggerakkan manusia. Maka perlakukanlah mereka dengan hati dan penuh cinta dan “manusiakan” mereka. Jangan biarkan mereka kekurangan cinta. Jangan lelah memberi cinta pada mereka, karena seorang feeling introvert mendapatkan energi untuk bergerak dan bermanfaat dari cinta orang-orang disekitar mereka.

Ditulis ulang dari kejadian nyata di sekitar kita, oleh Kiki Barkiah

Leave a Reply