Sudut Pandang Psikologi dan STIFIn

1.1K views

Peluang Usaha Tes STIFIn

Sudut Pandang Psikologi Dan STIFIn

== Tulisan dengan judul perbedaan Sudut pandang Psikologi dan STIFIn ini dibuat khusus untuk keperluan internal para Promotor STIFIn, untuk menjawab tulisan Prof. Sarlito Wirawan Sarwono tentang STIFIn pada sebuah media. Bisa anda googling saja pendapatnya beliau seperti apa.  ==

Pertama, saya sangat menghormati Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (Almarhum) dan pendapatnya. Hal terpenting berikutnya, kita mesti terbiasa menerima perbedaan sudut pandang psikologi dan STIFIn dengan lapang dada. Dimana letak perbedaannya?

Beda Sudut Pandang Psikologi dan STIFIn

Hal ini berawal dari perbedaan world-view (sumber paradigma), perbedaan Nature vs Nurture. Prof Sarlito dan ilmuwan psikologi lainnya, terutama yang beraliran barat, sudut pandang psikologi mereka akan melihat personaliti sebagai ilmu perilaku (aliran behaviorism). Segalanya mesti bisa diukur berdasarkan perilaku yang tampak. Unsur-unsur potensial yang tersembunyi tidak bisa dijadikan patokan. Sehingga kalau kembali kepada rumus 100% Fenotip = 20% Genetik + 80% Lingkungan, maka aliran/sudut pandang psikologinya Prof Sarlito adalah yang 100% Fenotip, sedangkan saya aliran yang 20% Genetik.

Perbedaan world-view ini merupakan perbedaan yang tidak pernah tuntas di dunia akademik. Perbedaan itu dikenal dengan Nature vs Nurture. Saya (Farid Poniman) penganut Nature, sedangkan sudut pandang psikologinya Prof Sarlito Wirawan Sarwono penganut Nurture.

Perbedaan sudut pandang psikologi dan STIFIn tersebut selaras dengan perbedaan:

1. Barat menganut Teori Evolusi Darwin bahwa manusia berasal dari monyet, sedangkan agamawan menganut teori eksistensi bahwa manusia pertama adalah Adam, juga selaras dengan

2. Stephen Hawking (fisikawan Barat) menganggap surga cuma dongeng, sedangkan agamawan meyakini keberadaan surga. World-view Barat seperti Darwin dan Hawking tersebut selaras dengan world view Behaviorism-nya Prof Sarlito. Kalau menggunakan bahasa gaulnya, “jangan bawa-bawa Tuhan deh dalam pembahasan ilmiah”. Itulah world-view mereka.

Campur Tangan Allah Pada Karakter

Secara sederhananya, saya meyakini adanya sibghah (celupan) Allah dalam diri manusia melalui kesengajaan Allah menjadikan manusia keturunan Adam. Selain itu ada kesengajaan Allah memberikan genetik yang unik pada setiap manusia. Konsep ini yang menjadi aliran Nature (ada campur tangan Allah dalam cetakan genetik manusia) sebagaimana yang saya anut, bahwa setiap manusia punya jalan sendiri-sendiri sesuai dengan genetiknya, hal ini yang membuat keyakinan saya berbeda dengan sudut pandang psikologi.

Sedangkan aliran Nurture-nya Prof Sarlito atau sudut pandang psikologi akan mengatakan bahwa sepenuhnya manusia dapat dibentuk menjadi apapun, sepanjang bisa mengawal penggemblengan (menciptakan lingkungan sesuai keperluannya). Menurutnya manusia dibentuk oleh pengalaman hidupnya. Jika mempelajari manusia pelajarilah pengalamannya.

Fenotip = Genetik + Lingkungan

Pandangan saya sebagaimana yang saya ungkapkan dalam banyak kesempatan bahwa yang 20% Genetik itulah yang aktif mencari 80% Lingkungan sehingga 100% Fenotip itu banyak dikontribusi oleh 20% Genetik. Memang betul tidak selalu 80% Lingkungan itu berhasil dicapai sepenuhnya sesuai dengan 20% Genetik, tetapi tesis besarnya adalah :

– sadar atau tidak sadar – kebebasan berkehendak pada manusia akan mencetuskan keinginan mencari lingkungan yang sesuai dengan dirinya, yaitu yang sesuai dengan 20% Genetik tadi. Setiap manusia mencari lingkungan yang ‘gua banget’ bagi dirinya.

Genetika Prilaku

Tentang hal ini, Rhenald Khasali (sesama dosen UI dengan Prof Sarlito namun berbeda pandangan juga dengan Prof Sarlito) menyebutnya sebagai genetika perilaku. “Para ahli genetika mulai masuk ke cabang baru dari genetika biologi, yakni genetika perilaku (behavioral genetics), karena berdasar sejumlah penelitian mutakhir terungkap adanya pengaruh genetika terhadap perilaku perubahan “, Rhenald Khasali (2010).

Sekedar ilurtrasi dalam bentuk lain, saya paparkan empat riset sebagai bukti pengaruh genetik terhadap perilaku dan eksistensi manusia (saya kutip dan edit dari Kompas.com):

1. Seorang psikolog asal Virginia Commonwealth University, Michael McDaniel menyatakan bahwa otak yang besar memang berpengaruh terhadap kecerdasan.Dalam Journal Intelligence yang terbit tahun 2005, Michael menyebutkan bahwa volume otak sangat erat kaitannya dengan tingkat kecerdasan karena semakin banyak sel-sel otak, sistem dan jaringan informasi yang dimiliki seseorang dalam otaknya pun semakin banyak, yang berarti ia bisa lebih cerdas. Hal itu menurutnya berlaku untuk semua rentang usia dan juga jenis kelamin.

2. Para ilmuwan dari Cambridge University menemukan bahwa para pialang yang bekerja di bursa-bursa saham memiliki jari manis lebih panjang dari pada jari telunjuk. Ini menunjukkan bahwa mereka lebih pintar mencari uang. Dalam 20 bulan para pialang dengan jari manis lebih panjang ini ‘mencetak’ uang sebelas kali daripada yang jari manisnya relatif lebih pendek(Kompas.com,16 Januari 2009).

3. Ukuran pinggul yang besar memengaruhi daya ingat seorang perempuan. Para peneliti menemukan bahwa setiap poin kenaikan BMI, skor tes kemampuan daya ingat mereka juga turun satu poin. Dan, partisipan yang memiliki bentuk tubuh pir (pinggang kecil, tetapi pinggul lebar) memiliki skor yang paling buruk(Kompas.com, 15 Juli 2010).

4. Menurut hasil penelitian, mereka yang bertampang menarik lebih pintar daripada kebanyakan orang. Riset yang dilakukanLondon School of Economics (LSE) di Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan, pria dan perempuan menarik memiliki intelligence quotient (IQ) 14 poin di atas rata-rata kebanyakan orang(KOMPAS.com, 17 Januari 2011).

Nah, tentu saja sudut pandang psikologi dari para ilmuwan psikologi tidak akan setuju sepenuhnya dengan empat contoh riset tersebut karena mereka lebih meyakini dengan pola perilaku yang tampak yang dibentuk oleh pengalaman hidupnya.

Kira-kira mereka akan mengatakan demikian, “Tidak ada kaitannya antara potensi genetik yang tergambar pada besar kepala, panjang jari manis, besar pinggul, dan tampang yang menarik dengan perilaku seseorang”. Sebagaimana Prof Sarlito Wirawan Sarwono juga mengatakan tidak ada kaitannya antara sidik jari dengan perilaku seseorang.

Perbedaan Nature vs Nurture

Sampai disini, saya berharap anda dapat memahami bahwa perbedaan pandangan Nature vs Nurture harus diterima dengan lapang dada, yang penting kita mengetahui perbedaan world-view nya.

Oleh karena itu untuk menjembatani bahwa potensi genetik yang digali Tes STIFIn itu juga dapat diukur dari perilaku yang tampak maka saya selalu memasukkan 10 variabel personaliti yang bisa diukur secara psikometrik pada setiap hasil Tes STIFIn.

Pendek kata, jika anda ingin membuktikan secara ilmiah keberadaan potensi genetik dalam personaliti seseorang, minta salah satu doktor/PhD psikometrik di kota anda untuk mengukur keberadaan 10 variabel pada peserta tes.

Jika keberadaan 10 variabel itu ternyata eksis maka hal itu menunjukkan bahwa Tes STIFIn memiliki validitas yang tinggi. Jika hal tersebut dites lagi beberapa kali dan hasilnya tetap sama maka bermakna reliabilitas Tes STIFIn juga tinggi. Tentang kedua hal ini kami sudah melakukan riset internal yang menunjukkan bahwa validitas dan reliabilitas Tes STIFIn sangat tinggi.

Sejarah Riset FingerPrint

Sidik jari adalah ciri permanen yang genetik dan tidak berubah sepanjang umur manusia. William Jenings dari Franklin Institute Philadelpia, mengambil sidik jarinya sendiri pada umur 27 tahun (1887) kemudian membandingkan dengan sidik jari setelah umur 77 tahun ternyata tidak terjadi perubahan.

Sidik jari seseorang memiliki hubungan dengan kode genetik dari sel otak dan potensi intelegensi seseorang. Penelitian ini telah dimulai sejak lebih 200 tahun yang lalu, diawali oleh Govard Bidloo (1865), J.C.A Mayer (1788), John E Purkinje (1823), Dr. Henry Faulds (1880), Francis Galton (1892), Harris Hawthorne Wilder (1897), Inez Whipple (1904), Kristine Bonnevie (1923), Harold Cummins (1926), Noel Jaquin (1958), Beryl Hutchinson (1967), dan kemudian oleh Baverly C Jaegers (1974) yang menyimpulkan bahwa sidik jari dapat mencerminkan karakteristik dan aspek psikologis seseorang.

Pada tahun 1901, Sir Edward Richard Henry mengembangkan Sistem Galton menjadi sistem Galton-Henry. Pada tahun 1914, sistem Galton-Henry mulai dikembangkan di Indonesia. Pada tahun 1960, sistem ini resmi digunakan oleh POLRI (menurut Indonesia Automatic Fingerprint Identification System/INAFIS).

Teknologi Dermatoglyphics

Sekarang teknologi sidik jari sudah berkembang jauh. Salah satunya, teknologi dermatoglyphics yang dapat dipakai untuk membuktikan seberapa besar kapasitas yang dimiliki anak sejak lahir, mengetahui potensi bawaan, serta bakat terpendam anak. Teknologi tersebut mulanya dikembangkan di Harvard University, Cambridge University, dan Massachusetts University. Data statistik perangkat lunak dermatoglyphics itu diolah berdasarkan data sidik jari 3 juta orang di Asia dan Amerika.

Dari rangkaian sejarah riset-riset sidik jari di atas masih kurang ilmiah apa lagi?

Jika genetika perilaku yang mampu ditunjukkan oleh sidik jari dianggap sebagai ilmu semu, sebaiknya hal tersebut perlu direkomendasikan langsung ke POLRI dan institusi intelijen di seluruh negara untuk menukarkannya dengan cara lain. Saya yakin Prof Sarlito tidak akan punya cara lain yang lebih efisien dan efektif dibanding teknologi sidik jari. Padahal sidik jari sudah memiliki sejarah riset yang panjang, yang sungguh menyedihkan kalau dianggap sebagai bentuk penipuan yang lain.

Kesimpulan dan Penutup

Sebenarnya anda sendiri bisa menjadi juri bebas, karena sebelum menjadi promotor anda mengikuti Tes STIFIn. Adakah kesimpulan tentang personaliti anda yang dikeluarkan oleh Tes STIFIn tidak akurat? Kalau lebih dari 90% diantara anda mengatakan akurat, maka janganlah golongkan kami sebagai penipu. Justru ini adalah amal kifayah kami untuk mencerdaskan bangsa kita.

Bagaimanapun, saya berterima kasih kepada Prof Sarlito atas pengabdian dan integritasnya sebagai ilmuwan psikologi.

Semoga uraian diatas dapat menjawab pertanyaan anda tentang perbedaan sudut pandang psikologi dengan Konsep STIFIn. Sehingga sampai kapanpun akan sulit menyatukan dua pendapat tersebut. Sebagai sulitnya kita menyatukan kaum yang berpendapat bahwa manusia dari evolusi monyet dengan mereka yang meyakini Manusia dari Keturunan Adam.

Oleh : Farid Poniman – Kuala Lumpur, 18 April 2011

Sekolah STIFIn Banner Promo

You may also like

2 comments

febriyanti 07/06/2021 - 10:43

Maaf karena dari proses kelahirannya sendiri ilmu psikologi adalah turunan dari ilmu filsafat dimana ilmu filsafat adalah hasil pemikiran manusia atau buah kecerdasan akal manusia dimana tidak adanya keikutsertaan Sang Pencipta.

febriyanti 07/06/2021 - 10:59

Sejarah singkatnya gini.

Ketika Rasulullah SAW mendirikan negara Islam di Madinah, Rasulullah mulai melakukan futuhat, penaklukan daerah daerah non Islam disekitarnya sampai zaman khulafaur Rasyidin dan seterusnya.

Karena asyiknya melakukan penaklukan maka tanpa disadari umat Islam sendiri mulai terwarnai dengan pemikiran pemikiran asing dari daerah hasil futuhat itu sendiri yg berperan banyak itu yaitu ilmu kalam dan ilmu filsafat dari negara Yunani dan Romawi.

Umat Islam sendiriakhirnya asyik mmpelajari ilmu filsafat hingga meninggalkan bahasalama arab yang merupakan power dari tsaqofah Islam sendiri. tidak lama ketika Romawi ditaklukan di zaman Abassiyah seruan pintu ijtihad ditutup, ini semakin memperparah sedangkan kita tahu fakta dalam masyarakat terus berkembang menggalian hukum tidak ada lagi maka lahirkan psikologi sebagai solusi padahal jangankan utk menyelesaikan masalah dalam skup masyarakat untuk masalah pribadipun ngak bisa.

Lahirnya psikologi saja di Jerman negara yang tidak bertuhan. dan tokoh tokoh psikologi saat itu juga adalah orang2 sosialis atheis dimana proses berfikir mereka hanya sekedar refleksi tanpa mengikutsertakan maklumat dalam proses berfikirnya yg salah satu maklumat itu adalah keberadaan sang pencipta mereka lebih dikenal dengan dialektika materi mereka. materi berubah jadi materi contohnya teori Charles Darwin saja.

Bisa dijabarkan lagi ke zaman psikologi modern…

Leave a Comment

Apa Yang Bisa Kami Bantu ?
//
Info Produk
Mis Rani
Online
//
Info Produk
Mis Reni
Online
//
Info Kerja Sama
Coach Herdian
Online
error: Maaf Share Aja Ya, Jangan Di Copas
Ingin Jadi Psikolog Join Aja Promotor STIFIn