Menjadi Korban Sejarah Di Indonesia

Menjadi Korban Sejarah Di Indonesia

Mengapa banyak tokoh menjadi korban sejarah di Indonesia ? Negara Indonesia yang berkarakter Feeling akan banyak memerlukan dukungan terobosan ide dan kreativitas (Intuiting) dari masyarakatnya. Ibarat api yang tidak akan nyala kalau tidak ada kayunya.

Masyarakat Feeling masyarakat pandai bicara. Isi bicaranya akan bernas jika hadir ilmu pengetahuan. Akan menjadi inspiratif jika masyarakatnya rajin baca buku dan doyan riset. Mungkinkah tradisi keilmuan itu akan muncul menjadi budaya bangsa kita? Di tengah-tengah budaya instant. Budaya malas mikir. Sepertinya sulit.

Baca Juga : Melihat dunia dengan cara yang berbeda

Membangun SDM

Namun ada jalan yang lebih gue banget bagi masyarakat kita. Yaitu jalan membangun SDM melalui kejiwaannya seperti kebersamaan, gotong royong, toleransi, dan keyakinan dalam beragamanya. Maka akan sangat berisiko bagi bangsa ini jika peluang bertumbuh melalui kejiwaan ini dimatikan.

Di tengah-tengah masyarakat yang guyub dan toleran tersebut akan muncul tokoh-tokoh visioner. Namun tokoh-tokoh visioner tersebut cenderung menjadi korban sejarah di Indonesia.

  • Mereka diperlukan hanya untuk mendukung bukan untuk memimpin.
  • Mereka dijadikan tinta tapi bukan pena.
  • Hatta dengan ekonomi kerakyatannya.
  • Sri Mulyani dengan kapitalismenya.
  • Prabowo dengan Macan Asianya di 2014. 

Sejarah kehidupan berbangsa (dan kehidupan sehari-hari) selalu akan memerlukan korban. Mereka dicatat sebagai tinta emas. Catatan sejarah itu semakin absah jika Prabowo lebih memilih menjadi ‘king maker’ di 2019. Korban sejarah yang berulang.

Farid Poniman
Penemu STIFIn